Didalam babad Madura disebutkan bahwa Pangeran Pulang Jiwo menjabat sebagai seorang Raja yang bergelar Panembahan Blingi memerintah pada tahun 1386 – 1399. Pusat pemerintahannya di Blingi. Dalam perjalanan hidupnya Pangeran Pulang Jiwo banyak mengajarkan tata cara memelihara sapi, sehingga sampai saat sekarang sapi dari pulau Sepudi kuat-kuat dan populasinya diluar realita yang ada.
Pangeran Pulang Jiwo mempunyai dua orang putra yang bernama Adipoday dan Adirasa, keduanya sangat rajin melaksanakan ibadah serta gemar melaksanakan dzikir dengan tujuan pendekatan diri (taqarrub) kepada Sang Maha Pencipta. Dengan demikian maka dua bersaudara tersebut selalu mencari tempat-tempat keramat untuk menyepi (mengkonsentrasikan diri) memusatkan pikiran agar bisa menjangkau ke alam yang lebih tingi. Adipoday bersemedi di puncak gunung Geger Bangkalan, sedangkan Adirasa bersemedi di Jumiang Pamekasan.
Konon dalam legenda yang populer di Sumenep, Adirasa bertapa diatas pohon ilalang (rumput yang tinggi) dan ada lagi menyebutkan bahwa Adirasa bertapa dipucuknya ombak. Hal ini perlu dibahas agar para pembaca bisa berpikir secara jernih dan tidak terlalu percaya terhadap sesuatu yang berbau tahayul. Seperti yang telah diketahui oleh penulis, tempat bersemedinya Adirasa di Jumiang termasuk kecamatan Pademawu Pamekasan, ada di semenanjung kecil dan banyak batu-batuan, disekitarnya banyak ditumbuhi pohon ilalang. Bilamana ada orang duduk di atas batu maka dari jauh akan tampak orang tersebut duduk diatas pucuk ilalang. Dimusim penghujan ombak disana agak besar dan hingga menghantam batu-batu cadas dipinggir pantai yang terjal, jadi bilamana seseorang duduk di atas batu cadas tersebut dan dilihat dari arah desa Padelegan maka seakan tampak duduk diatas ombak. Dan bisa dimungkinkan seorang yang diterangkan tersebut oleh masyarakat dikatakan bertapa dipucuk pohon ilalang atau diatas ombak.
Konon Adirasa tidak beristri hingga meninggal dunia, maka tempat tertapaan Adirasa di Jumiang sebagai tampat rekreasi, dan dipercaya oleh masyarakat Pamekasan bahwa bilamana ada muda-mudi (orang berpacaran atau bertunangan) berekreasi kesana maka akan putus (tidak jadi). Maka di Jumiang seolah ada peraturan yang tidak tertulis agar tidak membawa pacar atau tunangannya jika akan berekreasi. Atau memang dibuat sedemikian rupa oleh masyarakat setempat agar bila berekreasi tidak membawa pasangan yang bisa akan melakukan perbuatan maksiat karena memang tempatnya sangat sepi dan jauh dari pemukiman penduduk, serta banyak tempat untuk persembunyian.
Tulisan bersambung
- Sejarah Masuknya Agama Islam di Sumenep (Bag. 1)
- Sejarah Masuknya Agama Islam di Sumenep(2)
- Sejarah Masuknya Agama Islam di Sumenep (Bag. 3)
Kini beralih kepada Adipoday, setelah merasa sudah cukup melakukan amalannya terus ada utusan agar menghadap Pangeran Secodiningrat untuk dinikahkan putrinya yang bernama Potre Koneng, setelah lama ada di Banasare maka Potre Koneng diboyong ke Sepudi, selanjutnya Adipoday menjadi Adipati disana menggantikan ayahandanya Panembahan Blingi, dan bergelar Pangeran Arya Baribin, yang mengambil nama neneknya yang keempat.
Dalam dengan pemerintahan Arya Baribin pada tahun 1399 hingga 1415, pulau Sepudi tambah makmur dan masyarakatnya sejahtera, apa yang dilakukan oleh ayahandanya tentang memelihara sapi semakin ditingkatkan, sehingga masyarakat Sepudi sangat ahli dalam memelihara sapi, dan banyak dikirim ke luar pulau untuk diperdagangkan, hingga sekarang tetap berjalan.
mungkin, kemungkinan memanglah Pangeran Adirasa bertapa diatas ilalang atau di pucuk ombak. tidak akan menjadi sebuah ketakhayulan jika memang terjadi seperti itu. mungkin yang Maha Kuasa telah mengijinkan seperti itu. Karena seperti diketahui khalayak, ilmu ada dua macam. ilmu nalar/aqli/husuli dan ilmu rasa/ruhani/huduri. mungkin bisa seperti itu.
bisa nggak saya dapat informasi yang mendalam tentang pangeran adirasa? bagaimana caranya, mohon infonya yha . terima kasih
Trims. Kami akan coba merefleksikan dalam bentuk tulisan nanti. Tunggu posting selanjutnya