Budaya malu (malo) dalam etnik Melayu dan Madura juga berjalan berimbang dan sejajar. Dalam hal ini kita bisa memahaminya melalui seni-sastra dan keduanya juga dalam berkomunikasi/bicara tidak kasar, selalu mengikuti tata tertib berbahasa yang disebut ondhâghân bhâsa (undakan bahasa). Dalam bahasa Melayu dikenal beberapa perangkat kata seperti patik ‘saya’ -pemeran pengguna rakyat dan keluarga raja- pemeran lawan bicara -keluarga raja siapa saja. Berikut perbedaan bahasa sapaan antara bahasa Melayu dan bahasa Madura.
Melayu
bapak, pakcik
ibu, makcik kolok
subang
Madura
eppa’
emma’, embu’
kacong/anak laki-laki jhebbhing/anak perempuan
Undakan bahasa dalam bahasa Melayu ditandai dengan:
- hormat : saya, pakcik, makcik, beliau
- netral : saya, anda, saudara, dia
- kasar/intim : aku, kamu, awak, dia
Undakan bahasa dalam Bahasa Madura ada tiga undakan, yaitu:
- Bhâsa Enja’-lyâ – sèngko’ – (saya)
- Bhasa Engghi – Enten – bulâ – (saya)
- Bhasa Engghi – Bhunten – kaulâ – (saya)
- Bhâsa Tengghi – abdhi dhâlem – (saya)
Budaya malu/malo, juga terlihat pada hasil seni sastra berikut ini:
Melayu:
dari pada hidup menanggung malu
eloklah mati kena palu
kalau aib sudah menimpa/malu
hidup di dunia tiada berguna/mati
Madura:
potè mata= malo (malu)
bhângo’an potè tolang = lebbi bhaghus matè (lebih baik mati)
Di sisi lain, dalam adat-istiadat termasuk upacara upacara ritual yang ada dalam masyarakat Madura pada umumnya mengungkapkan asas perilaku, cita-cita, dan pegangan hidup orang Madura. Namun, dalam satu hal, baik masyarakat Madura maupun Jawa, masih percaya adanya kesaktian dan makhluk halus di sekitar lingkungan hidupnya, dapat memberi kejayaan bagi mereka, dan mengendalikannya (menjadikan makhluk halus tersebut hadam/budak) atau kesulitan hidup bagi mereka yang tidak bisa menguasai atau memusuhi (seperti memberi penyakit yang disebut penyakit angin merah).
Masyarakat Madura dalam waktu yang sangat lama terbagi menjadi beberapa golongan, antara lain: orèng kènè’ atau orèng dumè ‘yang dikenal sebagai rakyat jelata/kebanyakan; kaum bangsawan dalam bahasa Madura (néngrat); priyayi (parjâji): lapisan ini muncul di zaman feodal dan zaman kolonial yang terdiri atas pegawai pemerintah kolonial itu sendiri.
Istilah priyayi ditetapkan untuk semua personel di kepegawaian sipil, hukum, pengadilan agama, pendidikan, kesehatan, dan departemen-departemen penjualan candu dan pegawai di tingkat bawah sampai sekretaris, petugas ronda atau patroli pengawas keamanan wilayah, semuanya sebutan priyayi ini ditetapkan dengan surat nomor Mr.1006/ 1918, Vb 13 Agustus 1918 No.1 untuk Pamekasan, tanggal 12 Juni 1917 No. 8792 tanggal 13 Mei 1921 untuk Bangkalan, 20 Januari 1919, untuk Sampang dan secara tidak langsung menyatakan bahwa priyayi adalah semua pejabat di atas tingkat desa. Mereka berasal dari dua golongan yang sudah ada, tetapi karena kesempatan kaum bangsawan lebih besar untuk menjadi pegawai negeri maka kaum priyayi tersebut adalah bagian terbesar dari golongan bangsawan (Sunarto: 1960).
Madura memasuki alam demokrasi di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan masyarakat Madura merupakan satu kesatuan, yaitu masyarakat Indonesia. Dalam satu hal, Madura terkesan lambat, yaitu dalam pembangunan dan modernisasi terutama pembangunan mentalitas rakyat pedesaan. Sebagaimana diketahui, akibat tekanan-tekanan kekuasaan zaman klasik, zaman pelapisan ditambah tekanan dari pemerintah kolonial, rakyat Madura menjadi pasif dalam kehidupannya. Hidup dalam satu konsep yaitu “menerima apa adanya” dan adanya konsep tersebut membuat rakyat Madura menjadi ikhlas dalam menjalani hidupnya sehingga sangat tidak berdaya dalam berkarya karena mentalitas yang pasrah menerima apa adanya dan tidak pernah merefleksikan pembangunan, baik pembangunan diri maupun pembangunan masyarakat. Sebaliknya, hidup gotong-royong tumbuh subur dalam masyarakat.
Modernisasi terkesan lambat karena mentalitas rakyat masih bertahan pada sikap menerima apa adanya. Selain itu, belum banyak pemimpin masyarakat atau organisasi yang tumbuh dari masyarakat yang sesuai dan bisa dipandang sebagai pemimpin yang aktif dan kreatif. Sementara pemimpin yang datang dari pemerintah masih dicurigai sebagai upaya untuk mempersempit kebebasan.
Kebebasan diperoleh sejak hilangnya zaman feodal dan kolonial. Pikiran ini salah dan sulit diatasi dalam waktu yang singkat sebab keterbelakangan tersebut seolah-olah sudah membatu dan tersebar di seluruh Madura. Bebatuan tersebut lazim disebut bâto klèttak (batu gunung yang tersebar di daerah pegunungan dan daerah berbatu ini merupakan bagian daerah terbesar yang didiami masyarakat Madura) sehingga banyak nama desa dan kampung di Madura yang memiliki kata awal batu, seperti Bâtoporon, Bâtokerbhuy, Bâtoampar, Bâtobhellâ, Bâtolenger, Bâtorangsang, Bâtobintang, Bâtopoté, dan sebagainya.
Tanah Madura diantara atau di sela-sela bâto klèttak tumbuh pohon siwalan yang sangat banyak jumlahnya di Madura. Pohon siwalan belum tersentuh teknologi, tetapi bisa diandalkan. Apabila dibandingkan dengan Malaysia yang memiliki siwalan tidak sebanyak Madura, dalam satu hektar siwalan dapat menghasilkan gula sebanyak tiga ton, sedangkan Madura yang tanaman siwalannya seluas 7744 Ha, lima hektar menghasilkan gula hanya 1.770 ton (1987).
Pada mulanya, Madura bukan tanah yang kering kerontang. Dalam hal ini bisa dibuktikan dengan adanya cerita rakyat Bangsacara yang oleh raja disuruh berburu rusa sebanyak 40 ekor. Sebagaimana diketahui bahwa rusa mati di tanah tandus tanpa hutan. Setidak-tidaknya bagian terbesar Madura merupakan tanah subur dan berhutan. Dengan demikian, benar apa yang digambarkan dalam prasasti Balawi dan apa yang terdapat dalam kitab Negarakertagama bahwa Madura sangat dikenal karena kaya raya, manis, cantik, dan ramah tamah.
Namun kemudian, situasi di Madura berubah seperti musim kemarau panjang. Perang lokal maupun serangan Mataram di zaman Sultan Agung membuat Madura kehilangan penduduk. Madura menjadi terbengkalai dan berubah menjadi kering dan tandus. Perubahan ini tidak datang secara mendadak, akan tetapi datang secara perlahan-lahan. Hal itu ditandai ketika Mataram menyerahkan Madura kepada VOC, Gubernur Jenderal Kompeni Maetsuyker kepada Dewan 17 di Negeri Belanda pada tahun 1677. Tercantum dalam laporan tersebut bahwa Madura adalah pulau yang makmur (De Jonge-De opkomst van Nederlands Gesag in Oost Indie- dalam Soenarto:1960).
Tanah Madura yang subur menjadi tanah tandus dan hasil pertanian sangat berkurang, sebaliknya jumlah manusia tiap tahun bertambah. Hasil bumi tidak mencukupi untuk memberi makan penduduk di Madura. Produksi lain untuk menambah hasil dari rakyat tidak ada karena mulai bulan Oktober dan selanjutnya timbul paceklik. Pada musim tersebut, rakyat di sebagian daerah di Kabupaten Sampang dan Pamekasan makan daun pèapè. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1952 (Soenarto, 1960). Pada hakikatnya budaya itu terwujud dalam:
- Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.
- Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
- Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. (Koentjaraningrat, 1974:5).
*******
Tulisan bersambung:
_______________________________________________
Disalin dari kata pembuka buku “Memahami Jati Diri, Budaya, dan Kearifan Lokal Madura” penulis A. Sulaiman Sadik, Penerbit Balai bahasa Provinsi Jawa Timur, 2014