Penelusuran Chelhold yang luar biasa ini menunjukkan bahwa nilai dalam agama bakupun sebenarnya mengandung muatan politis. Konklusinya, Islam sebagai tradisi paripurna ternyata juga memiliki deretan persoalan yang terbangun secara sinkronis-semiologis. Fakta bahwa Syiria yang menjadi simbol kiri ternyata lebih berperadaban, bahkan menjadi mercusuar di masa Khalifah Ummayah terlupakan. Sedangkan, Yaman sampai hari ini masih merupakan gabungan dari Islam Arab tradisional dan nomadisme yang sederhana. Juga fakta bahwa tidak selamanya angin yang bertiup dari Yaman sebagai simbol kemakmuran juga terabaikan. Sebuah hadits Nabi menyebut bahwa bertiupnya angin sejuk dari Yaman di akhir zaman merupakan tanda kematian massal orang beriman.
Karenanya, persepsi bahwa Madura lebih rendah dari Jawa dalam konsep onggha-toron sebenarnya merupakan imagologi yang terbangun oleh tanda-tanda berlebihan (superlative sign) sekaligus tanda artificial (artificial sign) untuk mengkonstruksi komunitas Madura sebagai ikon dalam stigma rendah. Infrastruktur budaya yang ditanamkan Jawaisme nampaknya sukses menempatkan penanda-penanda ini dalam konstruksi budaya. Konstruksi palsu ini melupakan fakta bahwa Mbah Kholil Al Bangkalani di suatu masa, merupakan sentral ilmu agama yang memancing santri-santri Jawa untuk berguru.
Menurut Paul Ricoeur, dunia simbolik adalah milieu eksplisitasi diri. Dimana arti ditampilkan karena tanda-tanda (signs) merupakan cara, milieu, medium yang diekspresikan manusia untuk memproyeksikan diri. Efeknya, Dunia memahami tidak dapat dipisahkan dari memahami diri sendiri (W. Poespoprodjo:2004). Namun, pemahaman ini tidak begitu kompeten kalau tidak ditabrakkan dengan teks lain yang menjadi apa yang disebut Gadamer sebagai fusi cakrawala dimana terdapat potensialitas data tradisi masa lalu dan masa kini. Hermeneutika pemahaman dapat dimungkinkan untuk membuka ruang dialektik masa lalu yang telah membentuk kesadaran ruang masa kini. Mengapa kekerasan, kekasaran, kepongahan plus keluguan dinisbahkan kepada komunitas Madura? Bukankah etnis lainnya secara general juga memiliki tipe-tipe kekerasan. Aspek sejarah perlawanan Madura yang tidak pernah akur dengan hegemoni Jawa ini telah menjadikan Madura sebagai korban stereotip sebagaimana Blambangan yang diidentikkan dengan santet. Meskipun tidak ada legenda Menakjinggo di Madura, tapi perendahan nilai-nilai Madura justru terjadi melalui stereotip kultural. Namun, kreatifitas Madurapun telah menunjukkan bahwa tidak selamanya manusia Madura bisa direndahkan oleh sebuah hegemoni.