Juga tentang keterpikatan Ratu Japan terhadap Pangeran Sumenep dalam babad Sumenep, seakan mengajarkan hasrat Jawaisme yang berupaya menganeksasi Madura tanpa batas. Metanarasi ini sebenarnya berasumsi bahwa telah terjadi perang simbol (symbolic war) dimana cinta dan kekerasan dijadikan tanda (signifier). Dalam cerita ini diinformasikan tentang kekerasan hati Ratu Japan agar dapat bersuamikan pangeran Sumenep yang sebenarnya sudah beristri. Ketampanan Pangeran Sumenep yang mampu memikat Ratu Japan sampai mabuk kepayang ini seakan menepis fakta bahwa orang Madura sebenarnya tidaklah lebih tampan dari rata-rata orang Jawa. paling tidak sebagaimana dikumpulkan oleh Huub DeJonge dari pengamat barat masa lalu yang menyebut laki-laki Madura dengan muka lebih lebar, tidak halus, tulang pipi menonjol serta sifat permukaan yang garang dan kasar(Van Gennep:1921), berwajah beringas (Veth:1907), tubuh yang berbulu dan muka yang brewok baik pada rakyat maupun bangsawanya (Si Lindoeng:1898) serta tampak kurang ajar (Esser:1894).(Mien.A.Rifa’I:2007).
Ratu Japanpun hanya memberikan dua opsi bagi Pangeran Sumenep yaitu menerima cintanya atau perang. Dalam politik kontemporer, Ratu Japan dalam Babad Sumenep dapat disamakan dengan Bush Junior dalam kebijakan stick and carrotnya. Penanda ini sebenarnya telah membentuk makna tertentu (signified) yaitu bahwa Jawa tidaklah selamanya anggun, lembut dan romantis. Namun, ia dapat juga keras jika tidak mau dituruti hegemoninya. Dalam Babad Sumenep, Jawa dilambangkan tidak dalam konstuksi monolitis, tapi juga polisemi.