Cerita inipun sebenarnya telah mengalami kategorisasi anti hegemonik yaitu penggunaan mekanisme oposisi biner dalam rangka menciptakan sebuah penggolongan baru siapakah yang layak disebut keras dan siapa yang pantas disebut lembut. Ideologisasi anti hegemonik ini seakan berargumentasi “karena Ratu Japan (orang Jawa) adalah keras, maka sudah pasti kami (orang Madura) tidaklah keras. Kerasnya kami (orang Madura) adalah kekerasan demi harga diri dan martabat”. Disini, Simbol flamboyanitas Jawaisme dipatahkan secara halus, estetis, berperasaan dalam simbol paralogisme cerita Ratu Japan . Cerita-cerita tersebut sebenarnya mengandung sebuah pertukaran simbol (symbolic exchange) tanpa sadar, dimana lemah lembutnya orang Jawa dibarter dengan kerasnya orang Madura. Kritisisme ala Madura ini sebenarnya telah mengajarkan bahwa Jawaisme tidak selamanya berdiri diatas prinip Ojo Dumeh seperti yang diperankan Raja Majapahit dalam cerita Joko Tole namun juga berprinsip Ing Ngarso Ngumbar Angkoro seperti peran Ratu Japan.
Beberapa bagian cerita rakyat diatas sebenarnya cukup membuktikan bahwa Madura tidaklah pernah menyerahkan kekuasaannya terhadap hegemoni manapun. Studi ini menjelaskan betapa Maduraisme yang terkesan konservatif, minor, rigid, polos dan tidak intelek itu sebenarnya telah melakukan kritik menurut caranya sendiri. Sebuah pemahaman yang egaliter bahwa setiap manusia memang harus teguh terhadap tradisinya serta tekun membangun jatidiri yang teguh di atas terpaan budaya lain.
Syarif Hidayat Santoso adalah Alumnus Hubungan Internasional FISIP UNEJ