Teguh Hidayatul Rachmad & Syamsul Arifin
Dalam sistem kehidupan bermasyarakat terdapat pola, struktur dan budaya yang berkembang sebagai norma dan aturan yang harus dipatuhi, sehingga menjadi habitus bermasyarakat, seperti; sifat, sikap dan perbuatan. Hal tersebut kemudian menjadi gambaran kehidupan tentang bagaimana komunikasi, tingkah laku, interaksi antar manusia dan menjaga keharmonisan di dalam kehi dupan bermasyarkat. Potret kehidupan yang berlaku dalam suatu masyarakat akan cenderung dinamis dan mengalami perubahan seiring kemajuan dan peradaban yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan perkembanganmedia.
Demikian juga dengan peradaban masyarakat Madura yang selama ini dikenal dengan kebudayaannya yang beragam, unik, dan stereotip. Dari seluruh rangkaian kebudayaan yang ada di Madura terdapat sebuah tata nilai dan simbol tertentu yang memberikan kesan dan kekhasan masyarakat Madura, seperti tentang ketaatan, kepatuhan secara hierarki kepada empat figur utama bhu pa’ bha bhu’ ghuru rato (orang madura sangat menghomati ibunya, bapaknya, gurunya kemudian raja atau pemerintahannya).
Pada sisi yang lain pula, masyarakat Madura dikenal sebagai etnis dengan stereotip berpenampilan tegap, pemberani, pekerja yang ulet, nekat, suka merantau. Sikap orang Madura dapat dilihat dari beberapa ungkapan sebagai penggambaran yang mempunyai makna filosifi seperti apental ombe’ asapok angin (berbantal ombak, berselimut angin) yang mempunyai arti bahwa masyarakat Madura tidak pernah menyerah untuk mendapat cita-cita yang diimpikannya dengan tekad dan perjuangan besar. Sejarah perkembangan budaya Madura diawali dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kunto wijoyo (1980), Leunissen (1982), De jonge (1984), Jordaan (1985), dan Niehof (1985). Hasil kajian telah menunjukkan bahwa kebudayaan Madura bukanlah pelengkap kebudayaan jawa kerana mempunyai ciri khas yang tersendiri dan melalui proses perkembangan sendiri (Jonge 1989).
Orang Madura dianggap sebagai etnis yang keras dan suka dengan kekerasan, kondisi seperti ini telah banyak dipersepsikan oleh orang diluar pulau Madura tentang karakter masyarakatnya yang kasar. Hal tersebut yang membuat orang luar Madura tidak banyak yang berkunjung ke pulau Madura. Berbeda dengan ilmuwan yang menganggap bahwa fenomena dan keunikan masyarakat pulau Madura itulah yang menjadi alasan untuk dijadikan kajian penelitian (Jonge 1989). Dari penelitian itulah, akan ditemukan hasil yang dapat membawa masyarakat Madura menjadi masyarakat globalisasi yang melek media, namun tidak meninggalkan kearifan lokal budayanya.
Keanekaragaman tersebut membuat beberapa pandangan kepada orang Madura tentang stereotip negatif yang menyatakan bahwa orang Madura bersifat panas, berani dan perasaan cepat marah (Fauzi: 2004). Sifat tersebut dikatakan ada karena kondisi lingkungan yang panas. Bagaimanapun juga pandangan tersebut tidak semuanya tepat, namun juga tidak semuanya salah. Seperti yang dapat dilihat dari pepatah lebbhi bekus pote tolang katimbang pote mata, yang berarti dari hidup menanggung perasaan malu, lebih baik mati berkalang tanah, inilah yang menjadi motivasi carok orang Madura (Mien:2007).
Tradisi carok telah menciptakan stereotip negatif yang ber kembang diluar pulau Madura. Tradisi carok orang Madura, dikenal dengan berlawan dengan menggunakan senjata khas Madura (clurit). Oleh karena itu, pandangan ini memberi pandangan negatif bahwa orang Madura disamakan dengan sifat kasar dan emosi yang tinggi. Sebenarnya, carok dilakukan untuk membela kehormatan keluarga, dan perasaan malo (malu). Istri merupakan manifestasi martabat dan kehormatan suami, karena istri adalah bhantal lapate berarti landasan kematian(Latief 2002).
Tradisi carok secara tidak langsung telah mempengaruhi pandangan masyarakat luar Madura negatif. Carok adalah tindakan secara fisik yang dilakukan oleh orang Madura terhadap orang lain yaitu dengan menyerang menggunakan senjata dan biasanya membunuh orang yang menghinanya (Fauzi 2004). Selain carok, Madura juga dikenal dengan tradisi kebudayaan yang lain seperti karapansapi. kerapan sapi sebagai salah satu kesenian yang diangkat sebagai budaya Madura, sedangkan bentuk budaya tersebut adalah memperagakan pertandingan pacuan sapi jantan yang memang khusus untuk dipertandingkan(Fuad2012).
Dalam kegiatan budayaKerapan Sapi, selalu muncul sifat kekerasan tertentu karena latar belakang berbagai pertanyaan seperti martabat pemilik sapi kerap. Karapan sapi merupakan pertandingan yang sangat dekat dengan perkelahian karena disebabkan terjadinya kecurangan saat pertandingan. Selain martabat yang dipertaruhkan, keuangan yang dikeluarkan oleh pemilik Kerapan Sapi biasanya sangat besar sehingga mudah bagi pemilik sapi untuk emosi ketika terjadi kecurangan (Fuad 2012).
Pada kenyataannya, orang Madura mayoritas baik dan penuh dengan adat kesopanan. Hal ini tergambar dari beberapa budaya lain yang ada di pulau Madura. Tradisi budaya Madura memiliki budaya yang unik dan bagus serta dilengkapi dengan berbagai pesan kehidupan yang baik kepada masyarakatnya. Budaya yang lembut serta jauh dari kekerasan, budaya yang dapat dilakukan oleh berbagai tingkat kehidupan masyarakat serta dapat menjadi satu identitas kehidupan seperti budaya sapi sonok.
Budaya sape sonok adalah budaya yang terdiri dari dua sapi betina yang disatukan dengan pangonong (perangkai) serta dihias cantik. Ketentuan sapi maupun sapi sonok berasal dari bahasa Madura yang berarti sapi mengangkat kakinya dan memasukkannya ke atas paddhokan (papan kayu) yang berada dibawah gapura yang telah disediakannya. sapi sonok memiliki cara khusus dan unikya itu keseragaman langkah kaki sapi tersebut serta keelokan hiasan yang digunakan menjadi perhatian khusus dalam setiap pelaksanaannya. Sapi sonok dipertandingkan kecantikan dan keanggunannya serta diiringi dengan musik dan tarian saronenya itu sebuah musik khusus yang biasa digunakan untuk mengiring sapi sonok (Pusaka Jawa timuran edisi 3 Oktober 2012).
Menurut Bupati Sumenep (KH. A. Busyro Karim, dalam Tablo id Info 2013), mengatakan bahwa sapi sonok menjadi wadah untuk mempereratkan hubungan silaturrahim masyarakat Madura. Hal ini menjadi gambaran bahwa masyarakat Madura cinta kedamaian. Seni tradisi budaya sapi sonok, memiliki peran penting dalam menciptakan kondisi yang nyaman. Ini karena ada unsur filosofi dalam budaya sapi sonok yaitu sebagai salah satu wadah untuk mendekatkan hubungan silaturrahim dalam kalangan masyarakat Madura. Kemudian ia menjadi suatu gambaran kepada masyarakat umum bahwa masyarakat Madura mampu untuk menciptakan budaya hubungan yang baik antara masyarakat Madura.
Keanekaragaman sifat budaya yang ada di pulau Madura menjadi khazanah keilmuan dan pengetahuan untuk disebarluaskan ke masyaarakat Indonesia dan internasional. Budaya carok Madura yang terbilang keras dan negatif, tidak selamanya seperti itu. Masyarakat Madura pun tidak semuanya melakukan budaya carok dan pasti ada alasan tertentu, salah satunya adalah karena faktor kedekatan yang tinggi sehingga orang Madura melakukan carok.
Ada banyak budaya Madura yang lebih eksotis untuk disebarluaskan informasinya ke masayarakat. Beberapa ccontoh diantaranya adalah bahasa yang dipakai oleh orang Madura yang memiliki tiga tingkat bahasa yaitu Ja’-Iya (bahasa kasar), Engghi-Enthen (bahasa sederhana) Engghi-Bunthen (bahasa halus). Dalam prakteknya, pada masa sekarang penggunaan bahasa Madura mengalami pergeseran terutama dikalangan remaja Madura. Banyak orang Madura yang tidak dapat menggunakan bahasa halus Madura dengan baik dan benar (Lontar Madura edisi 05 Nopember 2013).
Yang kedua macapat. Macapat adalah tembang atau puisi tradisional yang berisi pujian kepada Tuhan Pencipta alam semesta, menyampaikan ajaran, menyampaikan anjuran, berisi tentang ajakan mencintai ilmu pengetahuan, ajakan untuk memperbaiki kerusakan moral dan ahlak. Namun pada kenyataannya, Seni tembang atau puisi tradisional macapat di Pamekasan Madura kini ditantang kepunahan karena tidak ada generasi yang meneruskannya(Kompas. com edisi 13 Maret2011).
Dahulu seni topeng dikatakan sebagai kesenian yang paling tua. Adapun bentuk topeng yang dikembangkan di Madura berbeda dengan topeng yang ada di Jawa, Sunda dan Bali. Topeng Madura pada umumny abentuknya lebih kecil dan hampir semua topeng diukir pada bagian atas kepala dengan berbagai ragam hias. Seni tari topeng dalang ini pun sudah langka di pulau Madura bahkan ketika ini mulai pudar karena dianggap tertinggal oleh perkembangan zaman (Lontar Madura edisi 19 Nopember 2011).
Kekayaan budaya Madura yang masih tersimpan di dalam kearifan lokal masyarakatnya masih belum ter-publish di media, sehingga stereotype tentang orang Madura yang keras masih tersimpan dalam benak masyarakat luas. Solusi yang tepat untuk menghadapi permasalahan tersebut adalah dengan cara mem-citra kemudian mem-publish budaya masyarakat Madura ke media.