Ternyata dengan metode ini, akhirnya Bahar merupakan blater rajeh yang amat disegani oleh internal blater, bahkan kalangan birokrasi dan masyarakat luas. Upaya Bahar, Ridwan, Nathun dan H Junaidi untuk membingkai dirinya dengan ritus ritus Islam adalah sebuah siasat agar tetap survive melangsungkan tradisinya, mempertahankan ke-blater-an. Mereka rata rata santri, keluaran pondok pesantren, tetapi juga menjadi jagoan dalam berbagai aktivitas sosial, seperti kerapan sapi, sabung ayam, atau juga remoh.
Namun ada juga kalangan blater yang tak memiliki latar belakang santri untuk tidak merapat ke kyai. Blater dalam kategori ini cenderung lebih “otonom” dalam bersikap. Ia memiliki sumber sumber kekuasaan tersendiri, misalnya kekayaan yang dimilikinya, atau ketangkasannya dalam memenangkan carok.
Tradisi keblateran adalah siasat orang orang lokal untuk mempertahankan kelokalannya. Mereka jelas tidak bisa diletakkan secara hitam putih sesuai dengan hukum hukum Islam. Akan tetapi upaya blater merapat ke kyai atau setidak tidaknya menggunakan ritus ritus agama ditengah fatwa dan upaya kyai melayangkan Islamisasi disegala hal adalah langkah cerdik yang patut kita hargai.
Boleh saja diseluruh pelosok Madura berdiri megah masjid masjid, atau bertebaran pondok pondok pesantren yang mengembangkan monokulturalisme, namun pada irama yang sama itu telah berbuih kultur “yang lain” yang tanpa disadari olehnya. Disadari atau tidak kenyataan ini jelas bertolak belakang dengan kepentingan para pembawa misi Islam (baca; kyai) yang hendak mengislamisasikan merekah secara kaffah. Lihat saja pernyataan KH Imam Buchori,