Tradisi Blater Tak Bisa Ditinggalkan

Sampai kapan kultur dominan (baca: Islamisasi) itu terus dikibarkan oleh kalangan kyai? Akankah kyai menjadi pelopor bagi semangat membangun pluralisme yang egaliter dengan tak memiliki “ambisi” mainstream itu? Yang jelas kalangan blater tak mengetahui dan tak mungkin berharap hal itu akan berhenti. Akan tetapi kalangan blater harus bersiap siap menghadapai “terkaman” itu. Demokratisasi politik boleh saja berlangsung, namun itu kurang berlaku di Bangkalan.

Arena kultural-politik masih dalam kuasa politik kyai. Mereka adalah penentu hitam putihnya persoalan, dan “yang lain” harus bersedia mengekor dalam nada nada mayor Islamnya kyai. Dan buih minoritas blater hanya boleh menyembul diruang ruang kosong yang sempit dan terbatas temponya. Inikah IslamRohmatanlilallamin itu? (ring-mift).

______________________________________________

[1] Remoh adalah acara hajatan yang dilakukan oleh warga desa untuk memperingati atau merayakan acara tertentu dari si penghajat. Remoh biasanya itu dilakukan saat acara resepsi perkawainan, khitanan, atau acara acara lain.

Remoh ada dua model, pertama; remoh atau hajatan biasanya dengan berlomba lomba memberikan uang terbanyak kepada si penghajat, dan kedua; remoh dengan berlomba lomba memberikan uang terbanyak kepada si penghajat dan disertai dengan pertunjukkan sandur, yakni kesenian tayub (istilah Jawa) yang penarinya dilakukan oleh laki laki yang berdandan perempuan.  Remoh yang kedua ini biasanya yang silakukan oleh par klebun (kepala desa).

 [2] Perkelahian fisik dengan menggunakan clurit bisa dilakukan oleh beberapa orang sekaligus atau hanya dua orang yang sedang bermusuhan dan biasanya dilakukan secara terbuka.

[3] Petrus merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Soeharto pada tahun 1980 untuk mengurangi angka kriminalitas.  Soeharto mengirimkan pasukan tersembunyi untuk menembak orang orang yang dianggap atau berpotensi besar melakukan tindakan kriminalitas. Nah, blater merupakan fenomena yang dianggap oleh penguasa faktor potensial tersebut diatas.

Disalin dari majalah Ngaji Budaya (Puspek Averroes dengan Yayasan Desantara)

Tulisan bersambung:

  1. Ke(blater)an: Sebuah Konstruk Lokal yang Tersisa, baca:
  2. Blater Sebagai Sosok “Kesatria Lokal”, baca:
  3. Tradisi Blater Tak Bisa Ditinggalkan, baca:

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.