[junkie-alert style=”green”]
Tradisi tahunan dalam bulan Ramadhan, khususnya untuk menyambut datangnya malam Lailatul Qadar, masyarakat Desa Langkap Kecamatan Burneh, Bangkalan, Madura, menyelenggarakan tradisi dengan menggelar pawai obor berkelilimg seputar desa setempat yang kemudian dikenal dengan sebutan Luk-culuk. [/junkie-alert]
Luk-culuk (lok-colok) dari kata “colok” yang berarti obor. Tradisi ini dimaksudkan untuk memberi penerangan ke seantero desa, lantaran pada Lailatul Qadar merupakan malam yang istimewa dan penuh kemuliaan. Sebagaimana diyakini ummat muslim bahwa pada malam tersebut akan sama dengan beribadah selama seribu bulan.
Dalam tradisi Luk-culuk tidak ada keterangan yang jelas, sejak kapan tradisi ini dimulai. Namun yang pasti, warga desa setempat berkeyakinan bahwa tradisi tersebut merupakan warisan dari nenek moyangnya, dan selalu dijaga dan dilestarikan oleh generasi selanjutnya. Sebab, tradisi Luk-Culuk diyakini sakral dan dilaksanakan satu tahun sekali.
[junkie-alert style=”green”] Tradisi ini dilaksanakan bertepatan dengan malam ke-21 bulan Ramadan. Prosesi dimulai setelah berbuka puasa dan sholat maghrib, ratusan pemuda dan anak-anak desa setempat mulai berdatangan dan berkumpul di tanah lapang. [/junkie-alert]
Dengan atribut lengkap, pakaian baju koko, sarung dan kopiah, mereka semua dengan suka cita menenteng obor yang terbuat dari berbagai alat. Ada obor yang dari bambu, bahkan ada juga yang dibuat dari tangkai pohon pepaya. Tentunya, diisi dengan minyak tanah dan ujungnya disumpal dengan kain agar bisa menyala menjadi obor.
Dalam satu komando salah satu seorang tokoh masyarakat setempat, mereka lantas menyalakan obor yang sudah disiapkan dan dibawa dari rumah masing-masing. Dalam hitungan ketiga, mereka beramai-ramai menyalakan obor dan dengan suara lantang meneriakkan “Luk culuk”.
Setelah itu mereka serentak dalam pawai keliling kampung dengan meneriakkan kata “Luk-culuk” secara berbarengan. Dan selama perjalanan mereka juga mengajak warga yang lain untuk bergabung dan bersama-sama berpawai keliling kampung di desanya.
Sebagaimana jatuhnya Lalilatul Qadar, Luk-culuk dilaksanakan pada malam ganjil seperti malam ke 21 atau malam ke 27. Pada malam-malam itulah diharapkan mendapat berkah dan penerangan di desa mereka agar suasa religi tetap terjaga seperti yang disunnahkan oleh agama.
[junkie-alert style=”yellow”]Selain itu tentunya, gelaran tradisi ini menjadi wahana membangun tali silaturrahmi antar warga, sekaligus sebagai sarana saling mengingatkan antar warga bahwa puasa Ramadhan telah memasuki 10 malam yang terakhir. [/junkie-alert]
Pawai tradisi Luk-culuk berlangsung tidak begitu lama. Setelah mereka berkeliling kampung, menjelang sholat Isya’ dan taraweh mereka sudah kembali ke rumah masing-masing, dan atau langsung menuju masjid atau langgar untuk melaksanakan sholat Isya’ dan taraweh berjamaah, kemudian dilanjutkan tadarus al-Qur’an.
Menariknya, tradisi dilaksanakan hanya oleh warga masyarakat Langkap, sementara desa tetangga lainnya tidak ditemui tradisi sejenis. Luk-culuk menjadi fenomena menarik dalam menyemakkan suasana Ramdhan dan menyambut Idul Fitri, karena tampak sekali nilai dalam tradisi ini cukup kental dengan nilai-nilai spiritual dan sosial, (syafanton)