Perbedaan keyakinan, kepercayaan, sejarah dan politik menyebabkan adanya ketidaksamaan respsi, persepsi, ekspresi, aktualisasi, dan eksternalisasi terhadap nilai-nilai budaya. Perbedaan-perbedaan ini, menyebabkan operasionalisasi atau penerapan nilai budaya tidak sama pula (Yasin, 2004:4).
Oleh karena itu, nilai budaya membatasi dan memberikan karakteristik pada suatu masyarakat dan kebudayaannya. Sebagai contoh, sejarah dan keadaan alam yang berbeda antara masyarakat Madura dan Jawa walaupun mereka selalu berdampingan dan letak geografisnya tidak terlalu jauh, menyebabkan perbedaan resepsi, persepsi, ekspresi, aktualisasi, artikulasi, dan eksternalisasi tentang keselarasan, keindahan, dan kebersamaan dalam budaya dua masyarakat tersebut.
Dalam hal nilai estetik, masyarakat Madura lebig menyuaki warna-warna menyala, seperti merah, kuning, dan biru yang mereka pandang sebagai pemacu semangat untuk bekerja keras, karena keadaan alam di Madura yang memerlukan semangat yang tinggi untuk bekerja. Lain halnya dengan pandangan masyarakat Jawa yang lebih menyukai warna-warna sejuk, yang mereka pandang sebagai cerminan kehalusan budi pekerti.
Namun, keanekaragaman budaya itu merupakan aset (kekayaan) budaya bangsa Indonesia yang amat tinggi nilainya. Tiap daerah atau masyarakat memiliki corak dan budaya masing-masing sehingga memperlihatkan ciri khasnya. Karena itu, di Indonesia tampak berbagai bentuk budaya bangsa yang beraneka ragam, adat-istiadat, upacara ritual, berbagai seni pertunjukan, tari-tarian, cerita rakyat, bahasa rakyat, dan beraneka nyanyian rakyat. Di antara jenis budaya tersebut terdapat tradisi lisan yang menjadi fokus kajian penelitian ini.
Para ahli folklor humanistis memposisikan tradisi lisan sejajar dengan folklor lisan. Jan Harold Brunvand (dalam Danandjaya, 1991:21-22) menyebutkan bentuk-bentuk (genre) folklor lisan antara lain (a) bahasa rakyat (folk spech); (b) ungkapan tradisional; (c) pertanyaan tradisional; (d) puisi rakyat; (c) cerita prosa rakyat; dan (f) nyanyian rakyat. Klasifikasi tersebut dikenal pula dengan sebutan sastra lisan.
Salah satu tradisi lisan atau sastra lisan yang berkembang di masyarakat Madura dan Jawa adalah tradisi macapatan. Tradisi lisan ini lahir dan hidup dalam masyarakat sebagai salah satu nyanyian rakyat. Jika kahadiran lagu-lagu pop atau dangdut yang selama ini menggejala mendominasi di masyarakat berdampak sebagai sebuah hiburan belaka, keberadaan tembang dalam tradisi macapatan yang memang tercipta secara alamiah memberikan nuansa yang berbeda, yang mampu memberikan gambaran identitas diri dari kelompok sosial masyarakat yang berdomisili di daerah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi macapatan (nyanyian rakyat) yang dimaksud memiliki peranan dan nilai yang tinggi dalam kehidupan masyarakat pendukungnya.