Nilai-nilai Komodifikasi dalam Pernikahan di Giliyang
Terdapat tiga unsur utama dalam komodifikasi; yakni nilai guna, nilai tukar, dan nilai tanda. Nilai guna ditentukan berdasarkan kegunaan suatu benda. Nilai tukar adalah harga suatu benda setelah ditukar dalam sejumlah nominal uang atau barang berharga. Sedangkan nilai tanda adalah saat suatu benda dapat mengubah status sosial seseorang di masyarakat.
Unsur yang pertama adalah nilai guna dalam prosesi pernikahan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa selama 40 hari sebelum hari pernikahan, pengantin wanita dipingit dan menjalani perawatan tubuh; seperti menggunakan bedak penghalus kulit, bedak dingin, bedak mangir wangi, dan bedak bida. Segala jenis bedak yang digunakan memiliki nilai guna yaitu untuk menyehatkan kulit, menghaluskan wajah, menjadikan kulit kuning langsat, dan menghilangkan bau badan. Selain itu tuan rumah menyediakan 2 smpai 3 ekor sapi serta musik karwitan dan penampilan ludruk khas tradisi pengantin Jeren. Hal itu berguna sebagai suguhan dan hiburan untuk para undangan. Para tamu juga tidak lupa mengenakan perhisan sebagai asesoris yang mempercantik penampilan mereka.
Unsur yang kedua adalah nilai tukar. Setelah tuan rumah menyediakan suguhan dan hiburan untuk para tamu maka sebagai imbalannya masing-masing dari mereka biasanya memberikan satu karung beras kepada keluarga pengantin. Pemberian ini pun suatu saat harus dikembalikan dalam jumlah yang sama saat yang lain mengadakan pesta, kalau tidak mengembalikan atau kurang sedikit saja dari pemberian sebelumnya maka akan diumumkan lewat pengeras suara masjid.
Unsur yang ketiga adalah nilai tanda. Orang tua calon pengantin wanita membiayai pesta pernikahan yang bisa menghabiskan 75-150 juta rupiah. Bagi keluarga yang berkecukupan biasanya mereka akan menjual beberapa hektar sawah dan tanah untuk menebus biaya pernikahan tersebut, namun bagi keluarga yang kurang mampu akan memilih meminjam uang kepada rentenir daripada menjadi buah bibir warga. Hal ini dikarenakan watak orang Madura yang menjunjung tinggi harga dirinya sehingga bagaimanapun sulitnya mereka akan berusaha merayakan pesta pernikahan mewah agar status sosialnya tidak diremehkan. Selain itu para tamu pun bersikap demikian. Mereka berlomba-lomba mengenakan perhiasan emas berupa kalung, gelang, dan cincin untuk menunjukka kekayaan mereka.
Resepsi pernikahan dalam adat Madura dilakukan selama tiga malam berturut-turut. Untuk melakukan tradisi pernikahan tersebut harus mengeluarkan kocek berkisar 75-150 juta rupiah yang seluruhnya dilimpahkan kepada keluarga perempuan. Pada saat ada keluarga yang menikahkan anaknya, para tetangga pun tidak ikut diam setiap keluarga dalam satu desa diwajibkan menyumbang satu karung beras untuk keluarga calon pengantin. Adat pernikahan di Giliyang memenuhi ketiga nilai komodifikasi yakni nilai guna, nilai tukar, dan nilai tanda.
Daftar Pustaka
- Kesuma, Tri Matoyo Jati. (2007). Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks
- Mariyatun(2010), Nilai-Nilai Moral Pada Perkawinan Adat Masyarakat Desa Kombangan, Kecamatan Geger, Kabupaten Bangkalan. Universitas Negeri Malang
- Tyson, Lois. (2006). Critical Theory Today. USA: Routledge.
- Anonymous(2013), Tradisi Unik Pernikahan Mewah dan Meriah di Pulau Madura.
- http://budaya.ijomuda.com/tradisi-unik-perjodohan-mewah-dan-meriah-di-pulau-madura/. Diakses pada tanggal 21 September 2016
- Untan, Tasik(2012), Pengertian Tradisi
- https://tasikuntan.wordpress.com/2012/11/30/pengertian-tradisi/. Diakses pada tanggal 21 September 2016
- Narasumber; Hilyatus Tsaniyah, Prodi Pendidikan IPA, Universitas Trunojo Madura
*****
Tulisan ini dicuplik dan bersumber: http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download, dengan judul asli: Tradisi Pernikahan Budaya Madura Sebagai Komodifikasi Untuk Menunjukkan Status Sosial Dalam Masyarakat (Studi Kasus Di Pulau Giliyang, Sumenep)
*) Mahasiswa Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya,Universitas Trunojoyo Madura